Peternak Sapi Berhak Menikmati Harga Layak

Peternak sapi di pedesaan masih menjadi kaki tunggal penyediaan bibit lokal, tapi sering menjadi subyek paling menderita


                 Peternak sapi di pedesaan yang menjadikan ternaknya sebagai tabungan sebenarnya tidak menginginkan harga yang terlalu tinggi pula. Tapi, cukup untuk menjadikan panen pedet/bakalannya sebagai tabungan. Ilham Akhmadi, peternak penggemukan sapi dari Segoroyoso, Yogyakarta menyatakan,secara naluri bisnis sebenarnya ia juga lebih suka jika harga bakalan murah. Sebab dengan modal yang sama besar ia bisa membeli lebih banyak sapi bakalan.

“Tetapi, kita hidup di pedesaan yang melihat langsung bagaimana petani-peternak itu menjadi tumpuan penyediaan bibit kita. Akhirnya nurani mengalahkan naluri bisnis untuk sedikit lebih mengerti keadaan,” ungkap ketua Persatuan Pengusaha Daging Sapi Segoroyoso (PPDSS) ini.

       Menurut Ilham, petani-peternak sebenarnya tak menghitung berapa biaya uang yang dikeluarkan maupun tenaga dan pakan yang ia tanggung. “Tapi kalau keadaan seperti 2010, saat harga sapi hancur kasihan sekali mereka. Harga pedet lepas sapih yang hanya Rp 2 juta dan bakalan lokal standar yang hanya Rp 4 juta – Rp 5 juta perekor jelas membuat mereka kecewa, merasa tidak dihargai,” ujanya. Keadaan itu tak pelak membuat semangat beternak turun sehingga kualitas bakalan dan produksi pedet turun.
Ilham menghitung, harga wajar pedet pasca sapih berada di angka Rp 5 juta. Perhitungan sederhananya adalah ‘meng-uangkan’ biaya pakan selama 15 bulan (interval kelahiran) sebesar Rp 10.000/hari. “Jatuhnya sekitar Rp 4,5 juta,” tegasnya. Jika ditambah biaya kawin suntik dan pakan tambahan,  wajar jika harga pedet pasca sapih Rp 5 jutaan.
                   Saat ini, kata Ilham, dengan harga bakalan mencapai Rp 35.000/kg bobot hidup peternak penggemukan dan jagal tetap masih bisa mendapatkan keuntungan. Sebab harga daging yang menembus Rp 83.000/kg (di Jogjakarta) masih menyisakan keuntungan. “Memang butuh modal lebih, tapi margin tetap didapat kok,” ungkapnya. Menurutnya, harga sapi mahal ataupun murah sebenarnya bagi peternak penggemuk tak terlalu berpengaruh. Bahkan kalau terlalu murah seperti 2010 pasti malah membuat bangkrut.
Peternak Semangat
         Kegembiraan itu memang benar-benar dialami oleh peternak sapi pedesaan. Sebagaimana dituturkan oleh Sugiyanto, pembina kelompok peternak sapi Sumber Makmur di Kecamatan Sewon KabupatenBantulYogyakarta, “Menurut kami kenaikan harga itu masih wajar. Harganya sudah layak sekarang,” katanya dengan mata berbinar.

Saat harga daging di pasar berada di level Rp 60 ribu – Rp 70 ribu, harga sapi betina maupun bakalan merosot hingga Rp 3 juta/ekor.  “Saat itu kami pernah membeli sapi Rp 9 juta, saat dijual kembali hanya laku Rp 6 juta,” ujarnya. Saat ini harga sapi yang semula Rp 9 jutaan naik menjadi Rp 11 juta – Rp 12 juta.  Sedangkan pedet lepas sapih standar (umur 3 – 5 bulan) harganya terangkat  pada kisaran Rp 5 jutaan.  “Bahkan kalau bagus bisa tembus Rp 6 jutaan,” katanya bersemangat.
      Menurut pria yang akrab dipanggil Giyanto itu, efek dari kegembiraan itu membuat 40 orang anggotanya bersemangat mengurusi sapi kembali. “Pada2010 sapi-sapi di sini kurus-kurus karena tak diurus. Peternak memilih mengerjakan yang lain karena hilang pengharapan. Bahkan beberapa ekor dijual murah,” tuturnya.
Kelompok Sumber Makmur binaan Giyanto diarahkan menjadi kelompok pembibit sapi lokal/sapi putih. Pada April 2012 lalu mendapat replacement(regenerasi)60 ekor calon induk seharga Rp 6.750.000/ekor melalui program penyelamatan sapi produktif.  “Kami senang karena reproduktivitasnya tinggi, ibarat disenggol saja bisa bunting,” kata Giyanto yang juga seorang inseminator. Total jumlah induk di kelompoknya 70 ekor, lebih dari 30 ekor diantaranya sedang bunting. “Menurut catatan kami Juli akan lahir 15 ekor,” katanya sumringah.
           Dengan demikian, karena pembibitan sapi merupakan tabungan dan sambungan kehidupan anggota kelompok, upaya menurunkan harga daging yang pasti akan diikuti turunnya harga sapi akan melumpuhkan semangat peternak. “Padahal pemerintah dan pelaku usaha tahu bahwa peternak ndeso seperti kami lah yang memproduksi bibit sapi lokal. Harusnya kami pun diberi napas dengan harga pantas,” ungkapnya.

sumber